9 Kompasianer Bicara
Pramuka
Ilustrasi Pramuka (Sumber: Wartakota)
Apa
yang anda ingat tentang Pramuka? Baju warna coklat muda, kacu merah putih, tali
temali? Kenangan manis camping dan petualangan di alam bebas?
Atau malah kenangan menjengkelkan gara-gara sering diteriaki “cepat deeekkk…”
sewaktu menjadi junior. Atau kenangan yang menggelikan sewaktu dipanggil “Kak”
atau “Kakak”, serasa menjadi pimpinan gangster di film-film China. Atau
kenangan menggelikan karena guru-guru yang sudah berumur masih saja dipanggil
“Kak”. Semua kenangan ini membawa kita kembali ke ingatan masa lalu, bahwa
sebagian besar dari generasi 70an, 80an, dan 90an, banyak yang menggandrungi
Pramuka.
Sayangnya,
popularitas Pramuka saat ini tidak sepopuler sebagaimana muda-mudi angkatan
70an, 80an, 90an menggandrungi Pramuka. Entah apa penyebab anak muda sekarang
tidak begitu suka dengan Pramuka.
Menurunnya
popularitas Pramuka ditunjukkan dengan sedikitnya percakapan tentang Pramuka di
media sosial, khususnya Twitter sebagaimana penggunanya
didominasi oleh anak muda. Iskandar Zulkarnain dalam tulisannya
tentang Sepinya Obrolan Pramuka di Twitter “di
Bulan Agustus ini hanya ada belasan kicauan berisi kata Pramuka per harinya.
Itu pun ditulis dari akun penggerak Pramuka seperti @kwarnas dan
@pramuka_jabar. Nyaris tidak ada Pramuka yang aktif memamerkan kegiatan
kepanduannya di media sosial baik lewat teks, foto, maupun video.”
Tetapi,
tenang saja. Masih ada kompasianer-kompasianer yang peduli dengan Pramuka.
Berikut adalah 9 Kompasianer yang
bicara tentang Pramuka:
Menurut
Supardi yang dulunya adalah aktivis Pramuka, saat pertengahan 1990-an, Pramuka
belum semarginal sekarang. Tetapi, tanda-tanda Pramuka akan menjadi kelompok
minoritas yang segera kehilangan peminat, sudah begitu nyata terlihat. Kenapa
Supardi bisa berprediksi seperti itu?
Dahulu
kala, Supardi dan kawan-kawannya saat pekan ekstrakurikuler menampilkan beragam
atraksi, termasuk membuat menara dari bambu yang menjadi bangunan tertinggi di
sekolah saat itu. Kemudian menara bambu digunakan untuk atraksi prusik dan
katrol. Menara bambu itu kuat, meski bahannya hanya bambu diikat tali Pramuka.
Dengan atraksi yang luar biasa ini, Pramuka hanya bisa menggaet belasan calon
anggota baru, belum lagi seleksi alam yang membuat beberapa orang gugur.
Mirisnya, yang bertahan hanya beberapa orang saja. Tak sampai habis hitungan
jari.
Pramuka,
bagi Supardi adalah ekstrakurikuler yang komplit, banyak kemampuan yang dilatih
dalam Pramuka. Apa saja kah itu? Selengkapnya baca disini.
Bersiap mendaki Gunung Singgalang, Sumbar, 1982 (dok.pri)
Pramuka
mati suri! Begitu kata Agustus Sani. Menurutnya, kenapa Pramuka mati suri
disebabkan oleh pertama, Pramuka dijadian program ekstrakurikuler
“wajib” di sekolah. Kedua, Pramuka dijalankan oleh guru-guru yang
menjadi pembina dengan kurangnya pengetahuan dan keterampilan. Ketiga,
kurangnya kesadaran pemerintah dalam mendukung gerakan ini, Pramuka hanya
dijadikan semacam “proyek” yang tentunya memberi manfaat bagi orang-orang
tertentu saja.
Uniknya,
Pramuka yang diikuti dan dijalankan oleh Agustus Sani, berbeda dengan
gudep-gudep lainnya. Apa bedanya? Selengkapnya baca di sini.
Masih
ingat dengan Dasadharma? Hemat, cermat, dan bersahaja adalah bunyi salah satu
butir Dasadharma. Florensius Marsudi punya pengalaman yang unik dengan
anak-anak didiknya. Florensius Marsudi menyaksikan langsung bagaimana prinsip
hemat, cermat, dan bersahaja dalam kehidupan sehari-hari dihidupkan.
Mbah
Paito mewakili orang-orang yang gerah dipanggil “dek” sewaktu ikut Pramuka. Ia
masih alergi dengan teriakan “cepat deeekk…!” Ia juga paling alergi dipanggil
“Kak” karena kesannya seperti pembina Pramuka. Menurutnya, panggilan “Kak atau
Kakak” malah seperti pimpinan gangster dalam film-film China, ada Kakak
pertama, Kakak kedua, hingga kakak tertua.
Menurut
Mbah Paito, sebenarnya Pramuka itu merupakan kegiatan dengan tujuan yang baik,
hanya saja pengemasannya kurang menarik. Simak penuturan jujur Mbah Paito
tentang Pramuka di sini.
Yang
terlupa oleh kita adalah sosok-sosok pembina Pramuka yang mengajarkan
nilai-nilai Pancasila, moral atau karakter terpuji. Mereka mengabadikan
waktunya melatih dan membina Pramuka meski tak dibayar. Seandainya pihak
sekolah memberikan insentif bagi pembinanya, maka nilainya tak lebih dari
kebutuhan membly64=iol/eli 10 kg beras. Tetapi mereka ikhlas mengabdikan ilmu
dan pengalamannya.
Menurut
Moch Syafei, ini betul-betul tragedi nasional. Tapi, siapa peduli? Tak ada yang
bekerja dengan niat untuk bangsa ini. Hampir semuanya bekerja hanya untuk diri
dan kelompoknya. Mereka adalah politisi, bak srigala lapar. Semua harus ada
dalam genggaman, termasuk Pramuka. Pramuka saat ini adalah pergulatan para
politisi memperebutkan kursi ketua umum Pramuka. Pramuka seharusnya dipimpin
oleh pemuda. Sehingga lebih terasa gregetnya. Pemuda masih penuh vitalitas dan
gairah sebagaimana jiwa Pramuka.
Moch
Syafei lebih banyak mengkritisi Pramuka yang lebih banyak dipolitisir,
dibandingkan dengan menghidupkan semangat Pramuka itu sendiri. Simak uraian
selengkapnya di sini.
Realitas
gudep berbasis sekolah memicu kegalauan orang nomor satu di Kwarnas Gerakan
Pramuka, yaitu Adhyaksa Dault. Di depan peserta Rakernas gerakan Pramuka yang
berlangsung di kompleks Pusdiklatnas Jakarta. Himbauan Adhyaksa Dault kepada
semua jajaran Pramuka memfokuskan diri untuk membangun dan memantapkan gudep
baik yang berbasis sekolah maupun yang berbasis komunitas. Menghidupkan gudep
yang “mati suri” seyogyanya tidak sekedar memberi himbauan, tetapi seyogyanya
merupakan gerakan nyata.
Lalu
bagaimana Aris Arianto menawarkan solusi untuk menghidupkan Pramuka yang mati
suri? Simak pemaparan selengkapnya di sini.
Kabar
gembira datang dari Gudep 001-002 Australia. Oktober 2013 lalu, telah
diresmikan Gudep 001-002 Australia yang bertempat di KJRI Sydney. Setelah tidak
aktif sejak tahun 1980-an, kegiatan kepramukaan Gudep 001-002 ini bertujuan
menanamkan kembali nilai-nilai keindonesiaan kepada pembina dan peserta didik
generasi muda Indonesia yang telah lama tinggal bahkan lahir di Australia.
Bagaimana
proses pelantikan ini berlangsung? Simak kisah lengkapnya di sini.
Banyak
informasi simpang siur, setelah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud)
Mohammad Nuh menegaskan bahwa Pramuka akan menjadi kegiatan ekstrakurikuler
wajib untuk siswa Sekolah Dasar (SD). Oleh karenanya, Kompasianer-M. Rasyid Nur
menegaskan kembali bahwa Pramuka bukanlah sebagai mata pelajaran baru. Pramuka
hanya tetap sebagai kegiatan eskul yang merupakan kegiatan tambahan peserta
didik di luar mata pelajaran yang sudah ada. Konsekuensinya adalah, setiap
satuan pendidikan (SD, SMP, SMA) wajib menyelenggarakan eskul Pramuka, tetapi
tidak diwajibkan pada setiap siswa.
Semoga, Pramuka segera menemukan ruh semangatnya, membangun
karakter positif bagi generasi-generasi muda. (ACI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar